
Anggota DPR: Harus Ada yang Bertanggung Jawab Secara Hukum di Kasus Ponpes Al Khoziny
Anggota DPR: Harus Ada yang Bertanggung Jawab Secara Hukum di Kasus Ponpes Al Khoziny
lacakperistiwa.com – Kasus yang menimpa Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny belakangan ini kembali mencuat dan memicu reaksi keras dari publik serta para pejabat negara. Salah satu suara tegas datang dari anggota DPR RI Komisi VIII, yang menyatakan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab secara hukum atas kejadian yang terjadi di lingkungan pesantren tersebut.
Anggota dewan itu menegaskan bahwa lembaga pendidikan, apalagi pesantren, seharusnya menjadi tempat pembinaan moral, bukan malah menimbulkan luka dan ketidakadilan. “Kalau memang terbukti ada unsur kelalaian, kekerasan, atau penyalahgunaan wewenang, penegak hukum wajib turun tangan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Ia menilai, negara tidak boleh diam terhadap kasus seperti ini, karena pesantren adalah bagian penting dari sistem pendidikan nasional. “Kita menghormati lembaga keagamaan, tapi kalau ada pelanggaran hukum, semua tetap harus tunduk pada aturan,” lanjutnya.
Kronologi Kasus Ponpes Al Khoziny
Kasus yang menimpa Ponpes Al Khoziny di Jawa Timur bermula dari laporan masyarakat terkait dugaan tindakan kekerasan terhadap santri di dalam lingkungan pesantren. Beberapa pihak melaporkan adanya perilaku tidak pantas dan pelanggaran aturan internal yang menimbulkan trauma bagi korban.
Menurut laporan awal, pihak kepolisian sudah melakukan penyelidikan dan mengamankan sejumlah barang bukti. Beberapa saksi, termasuk pengurus pesantren dan santri, telah dipanggil untuk dimintai keterangan.
Kabar ini langsung viral di media sosial dan memicu kecaman luas dari masyarakat. Banyak pihak menuntut agar kasus ini ditangani secara transparan tanpa ada intervensi. “Kalau benar ada tindakan kekerasan atau pelanggaran hak anak, aparat harus tegas. Jangan ada yang dilindungi hanya karena lembaganya pesantren,” tegas anggota DPR tersebut.
Selain itu, Kementerian Agama (Kemenag) juga dikabarkan ikut turun tangan memantau perkembangan kasus ini. Menurut pernyataan resminya, Kemenag menekankan bahwa pengawasan terhadap pesantren akan diperketat agar kejadian serupa tidak terulang.
Reaksi Publik dan Desakan Transparansi
Publik menyoroti kasus Ponpes Al Khoziny sebagai cermin lemahnya pengawasan di lingkungan pendidikan berbasis keagamaan. Banyak netizen di media sosial menyerukan agar pelaku—siapa pun dia—harus dihukum setimpal.
Salah satu aktivis pendidikan anak, Rini Kartika, menilai kasus ini bukan sekadar persoalan internal pesantren, tetapi sudah menyangkut tanggung jawab negara dalam melindungi anak. “Pesantren bukan zona bebas hukum. Semua anak di bawah perlindungan negara, termasuk mereka yang menempuh pendidikan agama,” katanya.
Desakan ini mendapat dukungan luas. Sejumlah LSM dan organisasi perlindungan anak mendatangi kantor kepolisian untuk meminta proses hukum dilakukan secara terbuka. Mereka mengingatkan agar aparat tidak hanya fokus pada pelaku lapangan, tetapi juga menelusuri rantai tanggung jawab di struktur pengurus pesantren.
Bahkan, beberapa anggota DPR menyebut bahwa kasus ini harus menjadi bahan evaluasi nasional terhadap sistem pengawasan pesantren. “Kita perlu audit manajemen dan tata kelola lembaga pendidikan berbasis agama, agar tidak ada ruang untuk penyimpangan,” ujar anggota DPR Komisi VIII lainnya.
Tanggung Jawab Hukum dan Etika Pesantren
Dalam konteks hukum, setiap pesantren wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Artinya, pengelola pesantren memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan seluruh kegiatan pendidikan berjalan aman dan manusiawi.
Anggota DPR menegaskan, jika terbukti ada unsur pelanggaran hukum di Ponpes Al Khoziny, maka tidak cukup dengan sanksi moral. “Harus ada penegakan hukum yang nyata. Kalau perlu, kasus ini dijadikan contoh agar lembaga lain lebih berhati-hati,” ucapnya.
Selain tanggung jawab pidana, ia juga menyinggung aspek etik. Menurutnya, pimpinan pesantren wajib menunjukkan sikap terbuka dan kooperatif dalam proses penyelidikan. “Jangan malah menutupi atau memutarbalikkan fakta. Kejujuran adalah bagian dari tanggung jawab moral di lembaga pendidikan agama,” tambahnya.
Pemerintah Diminta Perkuat Pengawasan Pesantren
Kasus Ponpes Al Khoziny membuka mata banyak pihak soal pentingnya pengawasan terintegrasi terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Pemerintah dinilai belum memiliki sistem kontrol yang efektif terhadap aktivitas internal pesantren, terutama yang bersifat independen.
Anggota DPR mendorong Kemenag bersama Kemendikbudristek membentuk satuan tugas bersama untuk memonitor kondisi pesantren di seluruh Indonesia. “Ini bukan untuk mengintervensi, tapi untuk memastikan tidak ada lagi kejadian seperti ini,” ujarnya.
Menurut data Kemenag, terdapat lebih dari 37 ribu pesantren aktif di Indonesia, dengan jutaan santri yang menempuh pendidikan di dalamnya. Jumlah sebesar ini membutuhkan sistem pengawasan dan pembinaan yang kuat. “Kalau dibiarkan berjalan sendiri tanpa evaluasi, maka potensi penyimpangan bisa terus terjadi,” tambahnya.
Selain pengawasan, DPR juga mendorong adanya mekanisme pelaporan internal di setiap pesantren. Dengan begitu, santri atau orang tua bisa melaporkan dugaan pelanggaran tanpa takut akan intimidasi.
Dukungan Masyarakat untuk Korban
Sementara itu, dukungan untuk para korban mulai bermunculan. Beberapa komunitas masyarakat, termasuk alumni pesantren dan tokoh agama, menyatakan empati terhadap para santri yang terdampak. Mereka meminta publik tidak menyudutkan lembaga pesantren secara keseluruhan, tetapi fokus pada pencarian keadilan.
Salah satu ulama di Surabaya menegaskan, “Pesantren adalah institusi mulia. Tapi kalau ada oknum yang mencoreng nama baiknya, maka harus dibersihkan lewat proses hukum.”
Masyarakat juga diimbau untuk tidak mudah menyebarkan informasi yang belum terverifikasi agar tidak memperkeruh situasi. Namun, desakan agar proses hukum berjalan transparan tetap menggema.
Refleksi dan Langkah ke Depan
Kasus Ponpes Al Khoziny menjadi pengingat keras bahwa dunia pendidikan, termasuk pesantren, harus selalu berada dalam koridor hukum dan nilai kemanusiaan. Tidak ada ruang bagi kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan, apapun alasannya.
Anggota DPR meminta agar aparat penegak hukum bekerja profesional dan tidak pandang bulu. “Hukum harus ditegakkan dengan adil, bukan hanya untuk menenangkan publik, tapi untuk memastikan keadilan benar-benar hadir,” katanya.
Kasus ini diharapkan menjadi titik balik bagi pembenahan sistem pendidikan pesantren di Indonesia. Pemerintah, DPR, dan masyarakat harus bekerja sama membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tanggung Jawab Hukum adalah Harga Mati
Kasus Ponpes Al Khoziny bukan sekadar tragedi individu, tapi ujian bagi penegakan hukum di negeri ini. Semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun struktural, harus dimintai pertanggungjawaban.
Anggota DPR menegaskan kembali, “Tidak boleh ada yang kebal hukum. Lembaga pendidikan agama pun harus tunduk pada aturan.” Pernyataan ini mencerminkan harapan besar agar hukum benar-benar menjadi pelindung bagi setiap warga negara, tanpa pandang status.
Harapan untuk Perbaikan Sistem Pesantren
Ke depan, publik berharap pemerintah dapat membangun sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan partisipatif terhadap pesantren. Perlindungan terhadap santri harus menjadi prioritas utama.
Pesantren tetap menjadi pilar penting dalam pendidikan bangsa. Tapi agar tetap dihormati, lembaga ini harus memastikan nilai-nilai moral yang diajarkan sejalan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan.